SuaraSumut.id - Pemandangan tak lazim terhampar di sepanjang Jalan Jati Rejo, Jalan H Anif Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Bangunan rumah masyarakat tampak porak-poranda, dengan tanda silang X berwarna merah di tembok rumah. Pemukiman masyarakat yang dulunya hidup, berubah sepi dengan hamparan puing-puing bangunan mirip di medan perang.
Pemilik rumah terpaksa meninggalkan tempat bernaung bersama keluarga, karena datang pengembang bersama anak perusahaan perkebunan negara yang mengklaim memiliki lahan yang ditempati masyarakat.
Ribuan warga terancam terusir dengan diberikan uang tali asih dari pengembang, lalu membongkar rumahnya sendiri atau tetap bertahan dengan menghadapi intimidasi hingga ancaman gusur paksa.
Inilah potret kusam konflik agraria di Deli Serdang, masyarakat kecil kian tergusur, terombang-ambing menghadapi proyek raksasa yang 'di-backup' pemerintah. Bagi yang melawan, siap menahan kerasnya intimidasi oleh preman bahkan oknum aparat.
"Kami diganggu mulai tanggal 23 Desember 2023 yang lalu," kata Mangatas Nababan (46) dengan nada kesal ketika ditemui SuaraSumut.id, Senin (17/6/2024).
Pria yang sudah dua puluh tahun lebih tinggal bersama keluarga di Kampung Kompak, Jalan H Anif, Desa Sampali, ini mengatakan, sedari awal warga hidup dengan tenang di lahan eks HGU PTPN II tersebut.
Hingga pada akhir Desember 2023, datang utusan dari pengembang yang meminta agar warga segera mengosongkan rumahnya. Intimidasi mengerikan terhadap warga pun terjadi. Preman bayaran menyerang dan membacoki warga.
Video penyerangan ini bahkan sempat viral di media sosial. Pria diduga preman bernama Kamiso dengan beringas membacok warga. Kamiso yang merupakan pecatan Brimob ini akhirnya ditangkap polisi. Bahkan, pengacara warga Kampung Kompak, Kamaruddin Simanjuntak nyaris baku pukul dengan Kamiso di Polsek Medan Tembung.
"Mereka mendatangi rumah warga-warga, mengintimidasi supaya rumah warga diberi kepada preman suruhan mafia tanah, yang di dalamnya ada pengembang untuk menjual rumahnya kepada preman itu dengan harga murah," ujar Mangatas sedih.
Dirinya menuturkan pengembang memberikan tali asih sesuai dengan kondisi bangunan. Ada warga yang dijanjikan dapat Rp 60 Juta, ada yang dapat Rp 100 juta. Masyarakat dipaksa terima tali asih atau buldozer datang membongkar rumah.
"Ada yang Rp 60 juta dan paling mahal Rp 100 juta. Mereka menyerobot dengan cara mengintimidasi, apabila kamu tidak berikan nanti Satpol PP akan datang membawa buldozer alat beratnya meratakan ini," kata pria yang seharinya bekerja sebagai sopir truk ini.
Masyarakat yang semula kompak untuk berjuang bersama mempertahankan tanah yang mereka tempati selama puluh tahun, perlahan mulai gembos akibat adanya intimidasi yang menakutkan.
"Jadi bagi masyarakat kami yang ketakutan, pemikirannya kalut, ya memberikan dan dibayari lah. Langsung dibukain semua sengnya, kusennya, dan preman itu memagar," ucapnya.
![Pengacara warga Kampung Kompak Sampali, Kamaruddin Simanjuntak menunjukkan lokasi bangunan yang dibongkar paksa petugas Satpol, Polri dan TNI. [Suara.com/M.Aribowo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/06/20/82816-kamaruddin-simanjuntak.jpg)
"Kami (tinggal di Kampung Kompak Sampali) kurang lebih 350 KK, masih ada 70 persen hingga 80 persen (yang masih bertahan). Kami menolak tali asih, apa dasarnya (pemberian tali asih)," sambungnya.
Mangatas mengatakan warga yang bertahan bukan tanpa alasan, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 75/Pdt.G/1999/PN. LP, mengabulkan gugatan masyarakat dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung RI No. 1734 K/Pdt/2001 dalam pertimbangannya mengakui keberadaan hak atas tanah kelompok masyarakat adat di atas areal perkebunan Sampali.