Harun mengatakan pelaksanaan reforma agraria di masa Pemerintahan Jokowi ini sudah tak bisa lagi diharapkan.
"Ketika masuk mau akhir-akhir ini kok malah penggusuran merajalela, pertanyaannya apakah memang ini sampai gak ke telinganya pak Jokowi. Harusnya (sampai), saya berharap kepada Presiden Republik Indonesia Insinyur Jokowi, periode akhir ini, dia berikan janjinya (melindungi hak masyarakat adat)," ucapnya.
"Sehingga dia habis nanti sebagai presiden, harum nama baiknya dan bagus dikenang oleh masyarakat adat dan petani, itu harapan kita. Tapi kayaknya itu jauh panggang dari api, kalau kita lihat ya kan, yang terjadi penghantaman penggusuran, intimidasi," tambahnya.
Harun melanjutkan, masifnya perampasan tanah membuat konflik pertanahan kian meruncing ke permasalahan kedaulatan.
"Konflik pertanahan kayaknya bukan sudah pada soal bagaimana tanah pengembalian kepada petani atau masyarakat adat, tapi ini (tanah yang ditempati masyarakat) adalah wilayah NKRI ini harus kita jaga," ucapnya.
Melihat fakta-fakta di lapangan, kata Harun, ketika masyarakat adat, petani digusur di atas tanahnya, rumahnya, rumah ibadahnya, dan ladangnya, kemudian muncul perumahan mewah.
"Apakah ini dihuni oleh warga negara Indonesia, ini harus dilihat," imbuhnya.
![Warga Sampali saat melakukan unjuk rasa terkait penggusuran. [Suara.com/ M.Aribowo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/06/20/59171-unjuk-rasa.jpg)
Mantan Ketua Umum Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) ini menyampaikan gerakan agraria ini suatu saat bisa saja meledak menjadi konflik sosial dan menjadi chaos.
"Rumah kita dihancurin, lahan pertanian kita digusur, tidak lagi punya tempat tinggal, ekonomi sulit. Ini (belum terjadi) karena masih adanya bantuan BLT dan sebagainya," tuturnya.
Kondisi perampasan tanah yang telah ditempati masyarakat ini tidak hanya terjadi di Deli Serdang, tapi juga di Binjai, Langkat, Sergai, Siantar, dan daerah lainnya di Sumut.