Jerit Hati Masyarakat Adat Sihaporas ke DPRD Simalungun Usai Heboh Penculikan: Selesaikan Masalah Tanah Kami!

Komunitas masyarakat adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas mengadu ke DPRD Simalungun, Sumatera Utara (Sumut) pada Jumat (26/7/2024).

Riki Chandra
Minggu, 28 Juli 2024 | 01:00 WIB
Jerit Hati Masyarakat Adat Sihaporas ke DPRD Simalungun Usai Heboh Penculikan: Selesaikan Masalah Tanah Kami!
Masyarakat adat Sihaporas saat menggelar audiensi ke DPRD Simalungun. [Dok.Istimewa]

SuaraSumut.id - Komunitas masyarakat adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas mengadu ke DPRD Simalungun, Sumatera Utara (Sumut) pada Jumat (26/7/2024). Mereka melaporkan tentang kasus penculikan terhadap 5 orang masyarakat yang diduga dilakukan oleh oknum anggota kepolisian.

Diketahui, peristiwa dugaan penculikan itu terjadi di Buntu Pangaturan, Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik pada Senin 22 Juli 2024 sekira pukul 03.00 WIB dini hari.

Perwakilan masyarakat adat Sihaporas, Baren Ambarita mengatakan, kasus penculikan itu merupakan bentuk tindakan represif oleh aparat kepolisian. Sebab, menurutnya, tidak ada dialog antara masyaraka dengan petugas.

"Main tangkap ini menurut kami pelanggaran berat. Kami ini mengadulah ke DPRD Simalungun agar persoalan ini dibahas di Komisi III DPR RI. Latar belakang kejadian ini mereka tidak tahu. Ini ada proses benturan antara masyarakat adat Sihaporas dengan pekerja PT TPL. Kenapa kami mengadu ke Polres Simalungun diarahkan ke Polsek? Katanya karena duluan pihak PT TPL yang mengadu”," kat Baren.

Kehadiran masyarakat adat Sihaporas dihadiri oleh Maraden Sinaga dan Mariono dari fraksi PDIP, Arifin Panjaitan, Junita Veronika Munthe dan Walpiden Tampubolon dari fraksi Demokrat, Tumpak Silitonga dari Fraksi Nasdem dan Lisnawati Sirait dari fraksi Perindo.

Menurut Baren, masyarakat adat Lamtoras sudah lama memperjuangkan hak-haknya di Sihaporas. Persoalan ini dipicu konflik agraria. Dimana, tanah adat mereka sebagai keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, dikuasai oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL) sampai hari ini. Atas dasar itulah mereka tidak rela dan terus berjuang sejak tahun 1998.

"Tahun 2000 sudah ada rekomendasi dari DPRD Simalungun pada masa Pak Samaidun. Sudah turun ke Sihaporas bersama BPN Simalungun dan Pemda Simalungun. Hasilnya DPRD Simalungun mengeluarkan merekomendasikan, agar persoalan tanah adat Sihaporas segera di selesaikan eksekutif, tapi sampai sekarang belum ada keputusan dan tanah masih tetap di kuasai PT TPL," terangnya.

Menurutnya, sudah 4 kali masyarakat Sihaporas berurusan dengan hukum ulah memperjuangkan tanah adat tersebut. Tahun 2002 misalnya, Arisman Ambarita dipenjara. Kemudian, tahun 2004, Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita dipenjara, lalu tahun 2019 atas nama Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita. Lagi-lagi di tahun 2024 kembali ditangkap polisi atas nama Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita dan Parando Tamba.

Baren Ambarita mengatakan, pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kehutanan tahun 2019 sudah merekomendasikan kepada Pemkab Simalungun agar membentuk tim identifikasi terhadap tanah Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas. Namun, sampai sekarang hal itu tidak dilakukan.

"Harusnya akar persoalan ini diselesaikan. Kami menyerahkan persoalan ini kepada Bapak DPRD Simalungun agar kami aman bekerja di tanah adat kami," tegasnya.

Tetua adat Sihaporas, Mangitua Ambarita mengatakan, pihaknya sudah berupaya menjalankan prosedur yang disediakan oleh pemerintah. Namun perjuangan itu belum membuahkan hasil maksimal. Menurutnya, leluhurnya di Sihaporas sudah ada sejak sekitar tahun 1800-an.

"Sudah 11 generasi kami di Sihaporas, jika dihitung 1 generasi 25 tahun, berarti kami sudah ada lebih 200 tahun yang lalu ada di sana. Ada bukti-bukti di lapangan, seperti batas-batas kampung, bekas perkampungan lama dan makam. Namun karena lambatnya pemerintah memproses ini sehingga selalu saja terjadi konflik di lapangan," tambahnya lagi.

Sementara itu, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Hengky Manalu mengatakan, ada tumpang tindih klaim yang terjadi di Tanah Adat Sihaporas. Sebab, ketika pemerintah mengklaim sepihak tanah adat Sihaporas menjadi hutan negara, kemudian memberikan kepada perusahaan PT TPL tanpa melibatkan masyarakat adat dalam prosesnya.

"Makanya terjadi penolakan dari masyarakat adat atas kehadiran perusahaan, karena berbagai dampak telah dirasakan masyarakat atas kehadiran perusahaan ini. Mulai dari sumber air rusak, hutan untuk kebutuhan ritual adat juga sudah rusak dan perjuangan masyarakat adat harus menghadapi kriminalisasi dari aparat," katanya.

Menurut Hengky, persoalan ini merupakan bentuk diskriminasi oleh pemerintah terhadap masyarakat adat. Sebab, persoalan ini sudah terjadi sejak lama. "Perlu (pemerintah) mempercepat proses pengakuan terhadap masyarakat adat Sihaporas agar ada kepastian hukum terhadap hak masyarakat adat ini," katanya.

Ssalah seorang perempuan bernama Mersi Silalahi menggatakan, suaminya Thomson Ambarita, merupakan salah satu korban penangkapan ulah sengkarut tanah tersebut. Dia mengaku trauma lantaran suaminya ditangkap.

"Mereka harus ramai-ramai tidur di posko. Merasa ketakutan karena menurutnya masih banyak aparat intel yang berkeliaran di sekitar wilayah Sihaporas, juga ada drone yang selalu memantau mereka saat berladang," katanya.

Mersi berharap agar DPRD Simalungun meminta pihak kepolisian tidak tidak melakukan intimidasi lagi kepada masyarakat. "Saya perempuan, sangat rentan (takut) terhadap kejadian ini. Suami saya sudah dua kali ditangkap. Anak-anak saya harus bersekolah dan ekonomi kami pun terpuruk karena kejadian ini," katanya.

Anggota DPRD Simalungun, Maraden Sinaga menyayangkan peristiwa dugaan penculikan ini. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Dia pun meminta masyarakat untuk tidak merasa takut.

"DPRD Simalungun akan mengingatkan hal ini kepada kepolisian, juga hasil pansus ini kita rekomendasi kepada instansi pemerintah daerah dan juga kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," katanya.

Sementara itu, perwakilan fraksi Nasdem DPRD Simalungun, Tumpak Silitonga menegaskan bahwa pengaduan masyarkakat adat ini perlu segera diselesaikan oleh KLHK. "Kami (DPRD) akan mendorong pansus mendalami persoalan tanah dari masyarakat adat Sihaporas," katanya.

Polisi Sebut Kasus Penganiayaan

Sebelumnya diberitakan bahwa Kapolres Simalungun AKBP Choky Sentosa Meliala mengatakan bahwa pihaknya yang telah menangkap sejumlah masyarakat adat atas kasus kekerasan dan penganiayaan terhadap karyawan PT TPL.

"Kasus kekerasan dan penganiayaan yang terjadi di Camp RND PT. TPL Sektor Aek Nauli, Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun," katanya, Selasa (23/7/2024).

Choky menjelaskan, kronologi penganiayaan terhadap karyawan PT TPL bernama Rudy Harryanto Panjaitan (53) terjadi pada 18 Juli 2022 silam.

Awalnya korban bersama para saksi hendak menyingkirkan kayu yang menghalangi jalan dengan menggunakan mobil Avanza BK 1412 HN.

Tiba-tiba sekelompok orang berjumlah sekitar 100 orang menyerang mereka dengan melempari batu dan membawa kayu yang dililit kawat berduri. Akibat kejadian itu, korban dan saksi-saksi melarikan diri meninggalkan mobil di lokasi kejadian.

"Mobil tersebut dirusak oleh para pelaku dan korban mengalami kerugian Rp 100 juta, serta luka di kepala akibat lemparan batu," ungkapnya.

Polisi yang mendapatkan laporan tersebut lalu melakukan penyelidikan dan kemudian menangkap tujuh orang.

"Sebenarnya pelaku yang ditangkap ada tujuh orang. Namun, dua orang melarikan diri saat proses diamankan ke Mako Polres Simalungun, karena adanya penolakan dari massa sehingga situasi saat itu tidak kondusif," jelasnya.

Dari 5 orang warga yang telah diamankan, polisi menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Giofani Ambarita, Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita.

"Untuk dua orang lainnya masih dalam pemeriksaan polisi untuk menetapkan statusnya," cetusnya.

Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP Ghulam Yanuar Lutfi menyampaikan bahwa pihaknya akan memproses para tersangka sesuai dengan hukum yang berlaku.

"Informasi melalui media sosial yang mengatakan para tersangka diculik oleh OTK adalah tidak benar. Kami datang dengan menunjukkan identitas sebagai anggota Polri Polres Simalungun dan menunjukkan surat penangkapan para tersangka," jelasnya.

Ghulam juga menambahkan pihaknya memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan transparan dan sesuai prosedur. Tindakan tegas ini diambil untuk menjamin keadilan bagi korban dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

"Kami mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak benar dan selalu mengedepankan jalur hukum dalam menyelesaikan masalah," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini