Namun parahnya pihak Polda Sumut menghalang-halangi hak Penasehat hukum dengan berdalih melakukan pendataan.
Tidak ujuk-ujuk menerima pernyataan Polda Sumut, LBH Medan dan Kontras Sumut terus menyampaikan argumentasi hukumnya untuk dapat diberikan askses pendamping. Akan tetapi upaya tersebut tidak dihiraukan Polda.
"Oleh karena itu dapat disimpulkan jika adanya abuse of power yang dilakukan polda Sumut dalam Proses Pemerikasaan para massa aksi dan bertentangan dengan KUHAP," kata Irvan.
Bahkan secara hukum penanganan massa aksi yang dilakuan kepolisian diduga telah melanggar Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan kepala kepolisian negara republik indonesia nomor 7 tahun 2012 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum.
Di mana secara jelas terjadinya penyiksaan dan tindakan brutal terhadap massa aksi. Serta pengamanan juga dilakukan dengan menggunakan senjata laras panjang yang seyoginya tidak dibenarkan secara hukum.
Selain itu, LBH Medan menyayangkan ketidakhadiran Ketua DPRD Sumatera Utara beserta anggota dewan lainnya pada saat berlangsungnya demonstrasi, yang kemudian berujung pada tindakan pembubaran dengan kekerasan oleh aparat kepolisian dan Brimob.
Menurut LBH Medan, absennya DPRD dalam momentum krusial tersebut tidak hanya mencerminkan sikap abai terhadap fungsi representasi rakyat, tetapi juga menunjukkan pelemahan peran legislatif dalam menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya.
Secara normatif, DPRD sebagai lembaga legislatif daerah memiliki kewajiban untuk menyerap, menghimpun, menampung, serta menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat.
"Kewajiban ini tidak sekadar bersifat administratif, melainkan merupakan amanat hukum yang melekat pada fungsi DPRD," katanya.
Kontributor : M. Aribowo