Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Kamis, 20 Juni 2024 | 14:12 WIB
Pemandangan rumah warga yang porak-poranda di Jalan Jati Rejo Sampali, Deli Serdang. [Suara.com/M.Aribowo]

SuaraSumut.id - Pemandangan tak lazim terhampar di sepanjang Jalan Jati Rejo, Jalan H Anif Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Bangunan rumah masyarakat tampak porak-poranda, dengan tanda silang X berwarna merah di tembok rumah. Pemukiman masyarakat yang dulunya hidup, berubah sepi dengan hamparan puing-puing bangunan mirip di medan perang.

Pemilik rumah terpaksa meninggalkan tempat bernaung bersama keluarga, karena datang pengembang bersama anak perusahaan perkebunan negara yang mengklaim memiliki lahan yang ditempati masyarakat.

Ribuan warga terancam terusir dengan diberikan uang tali asih dari pengembang, lalu membongkar rumahnya sendiri atau tetap bertahan dengan menghadapi intimidasi hingga ancaman gusur paksa.

Inilah potret kusam konflik agraria di Deli Serdang, masyarakat kecil kian tergusur, terombang-ambing menghadapi proyek raksasa yang 'di-backup' pemerintah. Bagi yang melawan, siap menahan kerasnya intimidasi oleh preman bahkan oknum aparat.

"Kami diganggu mulai tanggal 23 Desember 2023 yang lalu," kata Mangatas Nababan (46) dengan nada kesal ketika ditemui SuaraSumut.id, Senin (17/6/2024).

Pria yang sudah dua puluh tahun lebih tinggal bersama keluarga di Kampung Kompak, Jalan H Anif, Desa Sampali, ini mengatakan, sedari awal warga hidup dengan tenang di lahan eks HGU PTPN II tersebut.

Hingga pada akhir Desember 2023, datang utusan dari pengembang yang meminta agar warga segera mengosongkan rumahnya. Intimidasi mengerikan terhadap warga pun terjadi. Preman bayaran menyerang dan membacoki warga.

Video penyerangan ini bahkan sempat viral di media sosial. Pria diduga preman bernama Kamiso dengan beringas membacok warga. Kamiso yang merupakan pecatan Brimob ini akhirnya ditangkap polisi. Bahkan, pengacara warga Kampung Kompak, Kamaruddin Simanjuntak nyaris baku pukul dengan Kamiso di Polsek Medan Tembung.

"Mereka mendatangi rumah warga-warga, mengintimidasi supaya rumah warga diberi kepada preman suruhan mafia tanah, yang di dalamnya ada pengembang untuk menjual rumahnya kepada preman itu dengan harga murah," ujar Mangatas sedih.

Dirinya menuturkan pengembang memberikan tali asih sesuai dengan kondisi bangunan. Ada warga yang dijanjikan dapat Rp 60 Juta, ada yang dapat Rp 100 juta. Masyarakat dipaksa terima tali asih atau buldozer datang membongkar rumah.

"Ada yang Rp 60 juta dan paling mahal Rp 100 juta. Mereka menyerobot dengan cara mengintimidasi, apabila kamu tidak berikan nanti Satpol PP akan datang membawa buldozer alat beratnya meratakan ini," kata pria yang seharinya bekerja sebagai sopir truk ini.

Masyarakat yang semula kompak untuk berjuang bersama mempertahankan tanah yang mereka tempati selama puluh tahun, perlahan mulai gembos akibat adanya intimidasi yang menakutkan.

"Jadi bagi masyarakat kami yang ketakutan, pemikirannya kalut, ya memberikan dan dibayari lah. Langsung dibukain semua sengnya, kusennya, dan preman itu memagar," ucapnya.

Pengacara warga Kampung Kompak Sampali, Kamaruddin Simanjuntak menunjukkan lokasi bangunan yang dibongkar paksa petugas Satpol, Polri dan TNI. [Suara.com/M.Aribowo]

"Kami (tinggal di Kampung Kompak Sampali) kurang lebih 350 KK, masih ada 70 persen hingga 80 persen (yang masih bertahan). Kami menolak tali asih, apa dasarnya (pemberian tali asih)," sambungnya.

Mangatas mengatakan warga yang bertahan bukan tanpa alasan, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 75/Pdt.G/1999/PN. LP, mengabulkan gugatan masyarakat dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung RI No. 1734 K/Pdt/2001 dalam pertimbangannya mengakui keberadaan hak atas tanah kelompok masyarakat adat di atas areal perkebunan Sampali.

"Yang membuat kami bertahan untuk berjuang karena kami tahu tanah ini tahun 2001 sudah dimenangkan di pengadilan di Lubuk Pakam Deli Serdang oleh gugatan BPRPI karena ini eks HGU PTPN II. Jadi, ini tanah yang kami tempati lebih dari dua puluh tahun yang silam sudah dimenangkan di Pengadilan Deli Serdang Lubuk Pakam," ungkapnya.

Meski sudah ada putusan pengadilan dan Mahkamah Agung, penindasan terhadap masyarakat yang mendiami lahan eks HGU PTPN II di Sampali masih saja terjadi yang membuat masyarakat merasa tidak aman dan nyaman.

Bahkan, beberapa kali petugas gabungan Satpol PP, Polri dan TNI datang melakukan penertiban dengan dalih bangunan tidak ada Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Belum lagi gerombolan preman yang kerap menteror warga yang bertahan.

"Ternyata sekarang ada penindasan, suruhan daripada pengembang kepada kami warga di sini yang sudah tinggal puluhan tahun. Di sini berbagai masyarakat, ada yang jualan, petani, ada yang sopir, buruh, kami tinggal di sini untuk sekadar hidup, bukan untuk kaya dan jadi serakah," katanya.

Buat Jokowi - Prabowo

Masyarakat masih berharap ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan presiden terpilih Prabowo Subianto, agar peduli terhadap penderitaan masyarakat kecil yang terancam dirampas tanahnya di negeri sendiri.

"Harapan kami kepada bapak Presiden Joko Widodo juga Prabowo yang akan dilantik, supaya semua diperintahkan kepada TNI Polri, Menteri, BUMN, supaya menertibkan semua bawahannya supaya berpihak kepada masyarakat, dan tidak lagi berpihak kepada cukong-cukong, pemodal itu lah harapan warga Kampung Kompak," harapnya.

"Tekad kami warga Kampung Kompak bersama anak-anak kami, kami tetap berjuang untuk tetap tinggal di rumah kami, dan kami menolak tali asih, kami tetap melawan preman, mafia tanah dan pengembang yang mencoba-coba untuk menyerobot tanah dan rumah kami," jelasnya.

Senada juga disampaikan Ustaz M Darul, warga Sampali yang ikut menyuarakan penggusuran yang dilihatnya terjadi secara besar-besaran.

"Kelompok tani, masyarakat adat, di Sumatera Utara dari Labuhanbatu sampai Deli Serdang, kami sudah menetapi lahan selama 60 tahun. Sejak tahun 1964 sampai 2024," cetusnya.

Darul juga menagih janji Presiden Jokowi untuk mendistribusikan tanah untuk rakyat dengan pelaksanaan reforma agraria.

"Kepada Pak Presiden Jokowi keluarkan sertifikat atas tanah yang kami kuasi, itu janji kalian sepuluh juta hektare," katanya.

Pemagaran oleh pengembang di Kampung Kompak Jalan H Anif Sampali. [Suara.com/ M Aribowo]

Sangking kecewanya, Darul mengutarakan pilihan politiknya saat mendukung Jokowi dua periode dan Prabowo saat Pilpres 2024. Ia tidak mau sikapnya mendukung Jokowi dan Prabowo jadi sia-sia, pilihan politiknya seolah tak perduli dengan nasib rakyat kecil.

Oleh karena itu, Darul meminta Jokowi datang Sumut untuk melihat penggusuran terhadap rakyat yang semakin ganas.

"Pak Jokowi datang ke Medan, Sumut, lihat kami, habis digusur, habis kita dicampakkan ke laut (digusur)," kecewanya.

Dusun-dusun Terancam Lenyap Berganti Perumahan Mewah

Secara geografis, Desa Sampali di Deli Serdang, letaknya memang sangat strategis, karena bersebelahan langsung dengan Kota Medan bagian timur. Desa ini memiliki luas wilayah 2.393 hektare dan secara administratif Desa Sampali terdiri dari 25 Dusun dan dihuni sekitar 28 ribu jiwa.

Desa Sampali juga terkenal dengan perumahan elite Komplek Cemara Asri, yang di dalamnya terdapat pertokoan, restoran, perumahan mewah supermarket dan danau buatan. Serta terdapat ruas jalan tol yakni Tol H Anif, lokasinya juga tak begitu jauh dari Bandara Kualanamu.

Di desa yang strategis ini juga masih terdapat lahan yang berkaitan dengan areal PTPN II (baik yang aktif maupun eks HGU) dan lahan ini telah dihuni oleh masyarakat. Masuknya investor yang ingin melakukan pembangunan malah menimbulkan konflik.

Anggun Rizal Pribadi selaku kuasa hukum dari Masyarakat Tani Sampali menyampaikan penggusuran terhadap masyarakat yang bermukim di Jalan Jati Rejo, Desa Sampali dan sekitarnya, terkait dengan proyek perumahan mewah Citraland Deli Megapolitan dengan luas sekitar 800 hektare. Pengembang kian beringas mencaplok lahan, karena mengetahui masyarakat yang sudah puluh tahun bermukim, tak memiliki alas hak yang kuat.

"Ini kemungkinan besar 18 dusun akan hilang dari Desa Sampali. Karena Desa Sampali itu ada 25 dusun, yang sudah tergusur ada dua dusun yaitu Dusun 15 dan Dusun 14," ungkapnya.

Rizal mengatakan sebanyak puluhan ribu masyarakat yang terdiri dari wanita, lansia hingga anak-anak di dusun-dusun berikutnya dari 12 ke 25 kemungkinan besar akan juga habis kena gusur.

"Kalau sekarang sekitar ribuan masyarakat yang sudah mempunyai rumah, di luas 860 hektar. Ada pesantren, ada masjid, ada sekolah, ada madrasah, ada gereja, dan ada panti asuhan dan klinik," katanya.

Rizal melanjutkan ketakutan akan menghilangnya dusun ini perlahan menjadi nyata. Sebab, sejumlah rumah masyarakat di Jalan Kesuma Sampali sudah raib dan sedang dalam proses pengerjaan proyek perumahan mewah Deli Megapolitan.

Modusnya sama, masyarakat terusir dengan tali asih atau bertahan dengan ancaman gusur paksa. Penggusuran paksa ini telah terjadi di Jalan Kesuma, pada 31 Mei 2023 silam.

"Yang mana perumahan mewah itu diinisiasi oleh Ciputra Grup dan kawan-kawannya," ungkapnya.

Reforma Agraria Jauh Panggang dari Api

Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono memberikan janji manis akan melaksanakan reforma agraria sebagai bentuk menciptakan iklim investasi yang baik. Narasi ini dibagikan anak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat cuitan di akun media sosial X @AgusYudhoyono pada Rabu, 26 Februari 2024.

"Selaku menteri @atr_bpn yang berada di bawah koordinasi Menko Ekonomi, saya bersilaturahmi dengan pak @airlangga_hrt untuk koordinasi terkait tugas-tugas yang menjadi prioritas saat ini," tulisnya.

"Kami sepakat untuk terus berupaya menyelesaikan reformasi agraria dan menciptakan iklim investasi yang baik, dimana di dalamnya membutuhkan kepastian hukum dan kesiapan lahan usaha. Terima kasih pak Airlangga atas penerimaannya yang begitu baik dan penuh rasa kekeluargaan," ucap AHY.

Namun, pernyataan manis AHY ini bak peribahasa jauh panggang dari api. Penggusuran masyarakat atas nama pembangunan malah semakin masif, seperti yang terjadi di Deli Serdang.

Menilik data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya di Indonesia. Pada tahun 2023 terjadi 214 kasus konflik agraria. Angka ini meningkat 12 persen dibandingkan tahun 2023 dengan jumlah kasus 212 konflik terjadi.

Menurut KPA, wilayah paling banyak terjadi pecahnya konflik agraria terjadi di Sumut dengan 33 kasus konflik agraria dengan luas lahan mencapai 34.090 hektare, korban terdampak sebanyak 11.148 KK. Pecahnya konflik tersebar di 25 desa di berbagai kabupaten di Sumut.

Pejuang Reforma Agraria Harun Nuh menyampaikan kondisi perampasan tanah yang dialami masyarakat adat semakin memang semakin parah terjadi di penghujung masa jabatan Presiden Joko Widodo.

"Semakin parah (perampasan tanah), periode pertama Jokowi itu banyak berharap kita ya, bagaimana suara untuk reforma agraria, terus 12 juta hektare akan didistribusikan terus sertifikasi dipercepat, itu asyik kan," katanta saat diwawancari SuaraSumut.id.

Harun mengatakan pelaksanaan reforma agraria di masa Pemerintahan Jokowi ini sudah tak bisa lagi diharapkan.

"Ketika masuk mau akhir-akhir ini kok malah penggusuran merajalela, pertanyaannya apakah memang ini sampai gak ke telinganya pak Jokowi. Harusnya (sampai), saya berharap kepada Presiden Republik Indonesia Insinyur Jokowi, periode akhir ini, dia berikan janjinya (melindungi hak masyarakat adat)," ucapnya.

"Sehingga dia habis nanti sebagai presiden, harum nama baiknya dan bagus dikenang oleh masyarakat adat dan petani, itu harapan kita. Tapi kayaknya itu jauh panggang dari api, kalau kita lihat ya kan, yang terjadi penghantaman penggusuran, intimidasi," tambahnya.

Harun melanjutkan, masifnya perampasan tanah membuat konflik pertanahan kian meruncing ke permasalahan kedaulatan.

"Konflik pertanahan kayaknya bukan sudah pada soal bagaimana tanah pengembalian kepada petani atau masyarakat adat, tapi ini (tanah yang ditempati masyarakat) adalah wilayah NKRI ini harus kita jaga," ucapnya.

Melihat fakta-fakta di lapangan, kata Harun, ketika masyarakat adat, petani digusur di atas tanahnya, rumahnya, rumah ibadahnya, dan ladangnya, kemudian muncul perumahan mewah.

"Apakah ini dihuni oleh warga negara Indonesia, ini harus dilihat," imbuhnya.

Warga Sampali saat melakukan unjuk rasa terkait penggusuran. [Suara.com/ M.Aribowo]

Mantan Ketua Umum Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) ini menyampaikan gerakan agraria ini suatu saat bisa saja meledak menjadi konflik sosial dan menjadi chaos.

"Rumah kita dihancurin, lahan pertanian kita digusur, tidak lagi punya tempat tinggal, ekonomi sulit. Ini (belum terjadi) karena masih adanya bantuan BLT dan sebagainya," tuturnya.

Kondisi perampasan tanah yang telah ditempati masyarakat ini tidak hanya terjadi di Deli Serdang, tapi juga di Binjai, Langkat, Sergai, Siantar, dan daerah lainnya di Sumut.

"Hampir rata-rata berkedok perusahaan negara tapi dibelakangnya pengembang, ada yang perumahan mewah, ada yang di-kavling-kavling. Kalimat HGU ini kan berlindung para mafia, pemodal-pemodal, ini sekian hektare punya si polan (pengembang) tapi plangnya perusahaan negara," ucapnya.

Mirisnya lagi pemerintah yang notabene pelayan rakyat dan juga anggota DPR yang dipilih untuk memperjuangkan aspirasi, nyaris tutup mata melihat penggusuran yang terjadi. Perjuangan dalam mewujudkan tanah untuk rakyat kian terjal.

"Mereka (pemerintah) tutup mata," pungkasnya.

Sementara itu, Pemprov Sumut membantah tudingan kalau pemerintah tutup mata dengan penderitaan masyarakat terkait konflik agraria yang terjadi di Deli Serdang dan daerah lainnya.

Fungsional Ahli Muda Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Pemprov Sumut Ngadimin saat diwawancarai di sela-sela aksi unjuk rasa ribuan masyarakat yang menggeruduk Kantor Gubernur Sumut, Senin (10/6/2024), menegaskan pihaknya tetap menampung semua aspirasi masyarakat terkait permasalahan tanah dan akan menyelesaikan secara komperhensif.

Dirinya juga membantah tudingan pemerintah berpihak kepada pemodal terkait konflik agraria.

"Kita akan selesaikan, semua lini akan bekerja, kita akan bahas persoalan ini, dan memperdalamnya, harusnya nanti ada pertemuan lagi (dengan masyarakat adat dan petani)," katanya.

Kontributor : M. Aribowo

Load More