Sejarah Perayaan Imlek di Medan dari Masa ke Masa

Kejayaan situs kota China sendiri sempat terkubur lama.

Suhardiman
Selasa, 01 Februari 2022 | 10:09 WIB
Sejarah Perayaan Imlek di Medan dari Masa ke Masa
Masyarakat Tionghoa mendatangi Vihara di Hari Raya Imlek. [Dok: Suara.com/M.Aribowo]

SuaraSumut.id - Masyarakat Tionghoa di Kota Medan menyambut suka cita perayaan Tahun Baru Imlek, Selasa (1/2/2022).

Gegap gempita perayaan sudah terasa sejak malam pergantian tahun baru terdengar suara pesta kembang api bersahut-sahutan. Lokasi Vihara juga ramai didatangi masyarakat Tionghoa.

Terlihat juga pernak pernik khas Imlek berwarna merah juga bertebaran di penjuru sudut kota Medan, mulai dari Vihara hingga pusat perbelanjaan. Berbicara perayaan Imlek di Medan, barang tentu membuka cerita awal dalam penelusuran sejarah panjang masuknya etnis Tionghoa dari dataran Tiongkok ke Tanah Deli.

Sejarawan Muda Kota Medan, M Aziz Rizky Lubis menjelaskan, kedatangan orang Tionghoa ke wilayah Medan, Sumatera Utara (Sumut), diperkirakan berlangsung pada abad ke-13 hingga 14 Masehi.

Baca Juga:5 Karakter Orang Sukses, Mudah Ditiru Kaum Milenial untuk Raih Keberhasilan!

"Jadi orang-orang Tionghoa masuk ke wilayah Sumatera Utara sudah lama. Buktinya dengan keberadaan situs Kota China di wilayah Medan Marelan. Situs Kota China sudah ada sejak abad 13 hingga ke 14," katanya kepada SuaraSumut.id.

Aziz mengatakan, pada masa itu kedatangan etnis Tionghoa ke Tanah Deli dan membangun situs Kota China dengan tujuan untuk berdagang.

"Situs itu merupakan satu bandar dagang yang makmur, di situ banyak ditemukan koin dari dinasti di Tiongkok, keramik-keramik China, India, Sri Lanka, lalu juga patung agama Buddha," ungkapnya.

Kejayaan situs kota China sendiri sempat terkubur lama. Berbagai dugaan menjadi penyebab kemajuan bandar Kota China di Medan mendadak terhenti, salah satunya musibah bencana alam.

Situs Kota China kembali terkuak pada tahun 1970, pada saat adanya penggalian tanah menggunakan alat berat untuk penimbunan pembangunan jalan Tol Belmera.

Baca Juga:Apa Itu Lunar New Year? Ini Penyebab Perayaan Imlek Berubah Setiap Tahunnya

Lanjut Aziz menerangkan, etnis Tionghoa kembali masuk secara masif ke Medan pada sekitar tahun 1870 pada masa kolonialisme Belanda.

"Ketika perkebunan di wilayah Deli mulai berkembang, saat itu orang dari Tiongkok daratan kemudian ditransitkan ke Penang untuk dikirim ke wilayah Deli, itu sekitar tahun 1870," ungkapnya.

Aziz mengatakan, orang Tiongkok menjadi pilihan sebagai pekerja kebun pada masa itu karena kerjanya sangat bagus.

"Kenapa orang Tiongkok satu rajin dan lebih teliti, telatenlah mengurus tembakau sehingga hasil perkebunan tembakau memuaskan," katanya.

Pada medio itu tidak semua orang Tiongkok datang sebagai pekerja perkebunan. Ada juga yang datang sendiri.

"Misalnya ada Tjong Yong Hian kemudian ada Tjong A Fie, mereka itu datang sendiri yang memang mengadu nasib untuk berdagang, bukan sebagai pekerja kebun. Sehingga mereka betah dan berhasil di sini," jelas Aziz.

Para pendatang dari Tiongkok ini akhirnya menetap dan membentuk peradaban di Tanah Deli.

"Itu yang sudah lahir di Indonesia Kita tidak sebutkan mereka orang Tiongkok lagi tetapi orang Tionghoa," ucapnya.

Meski sudah berada di wilayah yang berbeda, kata Aziz, mereka tetap membawa dan melestarikan budaya nenek moyang dan mengakar hingga anak cucu.

"Saya kira ini hal yang biasa dalam etnisitas, misalnya kita pindah ke suatu tempat kita juga membawa kebudayaan kita. Meskipun ada beberapa hal yang kita modifikasi agar kita dapat diterima dalam komunitas baru itu," imbuhnya.

Perayaan Imlek

Hendra Kurniawan dalam bukunya Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia The Untold Histories menuliskan, Tahun Baru Imlek yang resminya dihitung berdasarkan tahun kelahiran Nabi Khongen (553 SM) sudah biasa dirayakan sejak tahun 600 SM.

Perayaan Imlek alias chen cia (sincia) merupakan pesta untuk menyambut datangnya musim semi. Para petani seakan merasa hidup lagi setelah sejenak mengalami "kematian" pada musim dingin yang suram. Para petani kembali mempersiapkan tanah, bibit, dan perlengkapan pertanian untuk mulai bertanam.

Perayaan Imlek dimaknai sebagai ungkapan syukur atas karunia dan anugerah Tuhan selama satu tahun sembari berharap kemakmuran yang berlimpah di tahun yang akan datang.

Berbeda dengan situasi di Indonesia, perayaan Imlek yang selalu jatuh di bulan Januari atau Februari ditandai dengan curah hujan yang lebat dan musim panen buah-buahan, seperti rambutan, jeruk, durian, manggis, alpukat, saveo, dan lainnya.

Tahun baru pasti dijadikan sebagai patokan untuk merencanakan harapan pada tahun mendatang alias resolusi. Pergantian tahun pada prinsipnya menjadi momentum penanda bahwa manusia terikat dengan waktu bahwa yang lalu telah berlalu dan patut disyukuri, sementara yang mendatang harus disiapkan dengan baik.

Tak heran mitosnya apabila pada malam menjelang Imlek bumi diguyur hujan lebat berarti akan ada harapan rezeki yang bakal mengalir di tahun yang baru. Mayoritas warga Tionghoa di Indonesia percaya dengan mitos ini dan tentu saja menantikannya.

Perayaan Imlek di Medan, kembali Aziz menjelaskan, tampaknya telah berlangsung meriah sejak abad ke 13 Masehi di Kota China, Medan Marelan.

"Dalam beberapa temuan-temuan situs kota China pada waktu itu saya ikut juga penggalian arkeologis itu, ada temuan seperti misalnya emas kertas yang diduga digunakan dalam ritual masyarakat Tiongkok termasuk perayaan hari besar atau upacara kematian," ungkapnya.

"Pada saat itu sudah berlangsung Imlek," sambungnya.

Perayaan Imlek juga meriah pada masa kolonialisme Belanda. Masyarakat Tionghoa pada masa itu masuk dalam kelas masyarakat menengah.

"Jadi ada orang-orang eropa, ada orang-orang timur asing kelas kedua, baru orang-orang pribumi," ucapnya.

Di zaman kemerdekaan perayaan Imlek juga dirayakan di berbagai daerah termasuk di Medan.

"Pada masa itu ada beberapa pahlawan beretnis Tionghoa mereka ikut juga dalam perjuangan merebut kemerdekaan," tutur Aziz.

Arus Politik Membuat Imlek Sempat Dilarang

Memasuki masa orde baru, perayaan Imlek mulai mendapat pelarangan oleh pemerintah.

"Kita gak tahu apakah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tapi jelas pelarangan itu ada," ujarnya.

Pelarangan perayaan Imlek pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, menurut Aziz dipengaruhi oleh arus politik pada masa itu.

"Saya kira (pelarangan) karena arus politik. Kita ketahui pada saat itu isunya ada peristiwa 65, kemudian kita tahu Tiongkok kan ideologinya sama dengan peristiwa 65," bebernya.

Ditengarai perlakuan diskriminatif oleh rezim orde baru menjerumuskan masyarakat Tionghoa menjadi apolitis dan asosial. Perlakuan diskriminatif menimbulkan trauma sehingga masyarakat Tionghoa menjadi menutup diri.

Kondisi diskriminasi ini, kata Aziz, berakhir setelah almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut pelarangan tersebut.

Presiden keempat ini juga menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional yang hingga kini dapat dirayakan dengan gegap gempita.

"Dari Imlek kita tahu ternyata mereka saudara kita juga punya kesenian bernama Barongsai, dan itu menambah (keragaman) Kota Medan yang mempunyai banyak jenis bunga, jadi ada Tionghoa, ada Karo, ada Melayu, dan ada etnis etnis lainnya," tandasnya.

Kontributor : M. Aribowo

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini