SuaraSumut.id - Green Justice Indonesia (GJI) bersama Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kota Medan menggelar diskusi Catatan Akhir Tahun 2023 di Taman Budaya Medan.
Catatan Akhir Tahun 2023 ini membahas seputar isu lingkungan yang kian mengkhawatirkan di Sumut. Eksploitasi sumber daya alam (SDA) terjadi ugal-ugalan yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan, bencana dan juga menimbulkan konflik agraria.
Direktur Walhi Sumut Ryanda Purba menjelaskan, sepanjang 2023 pihaknya mencatat ada 18 kasus konflik agraria atau sumber daya alam (SDA) dengan total luas mencapai 18.141 hektar. Di mana 18 kasus ini terjadi di 9 areal hutan dan 9 lokasi areal lainnya.
"Sekitar 7.000-an Kepala Keluarga (KK) yang rentan tergusur. Kita juga mencatat ada 15 warga yang terjerat kriminalisasi," katanya, Kamis (28/12/2023).
Ryanda mengatakan pihaknya juga mencatat 13 kasus pencemaran lingkungan di tahun 2023. Mulai dari pencemaran air, pencemaran laut, tanah, sungai, hingga udara.
Sumber penyebab pencemaran di antaranya kapal internasional pengangkut aspal di Nias Utara, aktivitas pelabuhan, pabrik, PLTU, hingga SPBU.
"Di Nias Utara, akibat tumpahnya aspal di kapal asing yang bocor itu, nelayan harus hilang mata pencahariannya dan semakin jauh mereka melaut karena laut pesisirnya sudah tercemar aspal," ungkapnya.
"Di Belawan juga demikian. Warga harus mandi dan minum dengan air yang tidak layak. Begitu juga dengan pencemaran di sekitar industri, air tanah oleh di beberapa daerah yang kita tangani langsung itu kita cek beberapa sampel, juga tidak layak untuk konsumsi dan lagi-lagi jawaban pemerintah hanya normatif, lambat," sambungnya.
Walhi Sumut juga mencatat setidaknya ada 40 bencana ekologis di tahun 2023.
"Banjir dan longsor mengakibatkan 22 meninggal dunia, 1000 jiwa mengungsi, 1.231 bangunan rumah dan infrastruktur rusak. Dalam banyaknya kasus yang terjadi, menurutnya pemerintah tidak belajar," ungkapnya.
Pihaknya melihat ada semacam pembiaran eksploitasi alam yang mengakibatkan bencana.
"Kita bisa melihat bencana yang terjadi adalah karena hilangnya area tangkap air (water catchment area). Di sisi lain, juga terjadi kebakaran hutan di Karo, Dairi, Humbang Hasundutan dan Padang Lawas," imbuhnya.
Minim Dukungan Politik
Lebih lanjut, Ryanda mengatakan, kondisi lingkungan yang sudah darurat di Sumut dan Indonesia secara umum, minim mendapatkan dukungan dari capres-cawapres.
Dirinya melihat tidak adanya visi misi yang serius dari ketiga capres untuk memperbaiki kondisi ekologis yang kian rusak.
"Kalau bicara politik ketiganya punya hubungan dengan oligarki, oligarki artinya persengkongkolan antara penguasa dan pengusaha," cetus Ryanda.
"Mereka juga dibaliknya adalah pengusaha tambang, pengusaha HTI Hutan Tanamam Industri, pemilik perkebunan, pengusaha industri ekstraktif lainnya, nah, sama saja," sambungnya.
Ryanda menjelaskan bahwa ketiga capres-cawapres itu sumber-sumber pendanaannya setelah telusuri berasal dari ekonomi ekstraktif yang sumbernya pengerukan sumber daya alam secara langsung.
Hal senada juga disampaikan Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan. Ia mengatakan ketiga capres-cawapres mendorong investasi sebesar-besarnya.
"Tidak satu pun dari calon presiden itu jelas visinya terkait lingkungan, semuanya mendorong investasi sebesar-besarnya," jelasnya.
Dana mencontohkan ironi terjadi saat pemerintah menyampaikan energi terbarukan dengan penggunaan mobil listrik.
"Satu contoh nikel, baterai listrik, kita ini mendorong kota-kota besar di Eropa dan kota-kota besar di Indonesia misalnya untuk menggunakan mobil listrik, tapi di Sulawesi misalnya itu terjadi penghancuran sebesar-besarnya dan itu tidak menjadi pertimbangan oleh penguasa," ungkapnya.
Dana menilai isu kerusakan lingkungan, seperti tidak menjadi poin penting untuk pemerintah pada saat ini.
"Isu lingkungan malah dinafikan dipinggirkan, untuk kepentingan investasi, semua calon sepertinya mengarah ke arah situ," kata Dana.
Kontributor : M. Aribowo