SuaraSumut.id - UU Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR melalui pada Senin (5/10/2020). Pengesahan itu membuat banyak penolakan, salah satunya buruh.
Beberapa poin fatal yang menjadi polemik, yaitu terkait sistem pengupahan, cuti, dan tidak jelasnya nasib buruh kontrak.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut menilai, UU Cipta Kerja sebagai kesalahan fatal pemerintah dalam menyelamatkan ekonomi Indonesia.
"Ini adalah kesalahan fatal cara pemerintah dalam upaya penyelamatan ekonomi. Karena yang dipermudah adalah pemodal atau kaum kapitalis," kata Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam Lubis, Rabu (7/10/2020).
Baca Juga:Ratusan Mahasiswa Demo Tolak UU Cipta Kerja Kepung DPRD Cilegon
Amin menyebut, melalui UU Cipta Kerja para pemodal dipermudah untuk menguasai sumber daya alam, dan akses yang seharusnya sebagai sumber penghidupan masyarakat.
"Selama ini sumber konflik itu ada pada mudahnya pemodal mendapat izin pemerintah. Sehingga mereka dapat dengan mudah menguasai lahan yang diinginkan dan menggusur mata pencarian masyarakat," ujarnya.
Cara pemerintah menyelesaikan persoalan ekonomi dengan "mengobral" aturan yang memberi akses luas bagi pemodal, justru akan menjadi sumber persoalan baru yang tidak akan membawa Indonesia keluar dari persoalan ekonomi.
"Karena parlemen kita tidak mampu menjalankan amanah rakyat, maka kita akan melawan kebijakan tersebut dengan parlemen jalanan," ujarnya.
Martin Luis, bidang advokasi Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) mengatakan, produk legislatif itu dinilai banyak merugikan para buruh.
Baca Juga:Said Aqil Siroj: Demi NU, Kita Harus Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja!
"Omnibus Law kita nilai hanya untuk memfasilitasi investor, dengan dalih untuk pertumbuhan ekonomi. Namun isi pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, menguras habis tenaga pekerja dan mengeksploitasi alam," kata Martin.
Menurut Martin, buruh dengan tegas menolak UU Cipta Kerja yang telah menggabungkan sebanyak 79 UU dengan 1.244 pasal itu menjadi satu dengan nama Omnibus Law.
Butuh waktu setidaknya 50 tahun untuk membentuk UU tersebut. Namun oleh DPR RI tidak butuh waktu lama untuk mengesahkannya.
"Kenapa harus buru-buru? Revolusi 4.0 hanya menjadi alasan negara-negara Imperialis terus mencari jalan untuk mengalirkan modalnya ke negara-negara berkembang melalui kerjasama ekonomi, investasi serta dengan menjebak negara dunia ketiga dengan politik hutang luar negeri," ujar Martin.
Dari sektor agraria, kata Martin, Omnibus Law kontra produktif dengan semangat UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) hingga membajak atau menghilangkan semangat UUPA.
Omnibus Law akan memberi peluang pemodal untuk ekspansi lahan sehingga mematikan ekonomi rakyat kecil.
"Poin ketiga yang kita lihat dari Omnibus Law yakni menghapuskan sanksi pidana terhadap para pengusaha. Kemudian hilangnya upah minimum, tak ada lagi cuti haid, pesangon dihapus. Dengan begitu pengusaha dapat semena-mena melakukan PHK tanpa membayar kewajiban memberikan pesangon. Ini sebagai sinyal bahwa pemerintah membuat rakyat semakin miskin dan sengsara," pungkasnya.
Kontributor : Muhlis