Mengembalikan Kejayaan Kemenyan, Kekayaan Hutan Tapanuli Raya

Kemenyan tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Getah dari pohon hamijon ini kerap dikaitkan dengan hal mistis.

Riki Chandra
Kamis, 01 Desember 2022 | 12:00 WIB
Mengembalikan Kejayaan Kemenyan, Kekayaan Hutan Tapanuli Raya
Acara adat Parung Parung tradisi yang dilakukan masyarakat adat di Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Selasa (29/11/2022). [Suara.com/Budi Warsito]

SuaraSumut.id - Kemenyan tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Getah dari pohon hamijon ini kerap dikaitkan dengan hal mistis.

Kemenyan ternyata mempunyai banyak manfaat. Mulai dari bahan baku untuk obat-obatan, kosmetik hingga parfume. Sejak ratusan tahun lalu, kemenyan dari Kabupaten Toba bahkan telah dikirim ke banyak negara.

Sayangnya, potensi tumbuhan endemik di Tapanuli Raya ini belum dilirik sepenuhnya oleh pemerintah. Meski harga kemenyan cukup tinggi di pasaran, namun belum mensejahterakan petani atau masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dengan memanen kemenyan dari kebun mereka yang berada di dalam kawasan hutan lindung.

Hal itulah yang tengah diupayakan oleh Green Justice Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara.

Baca Juga:Wanita Ini Disergap Polisi Saat Transaksi Narkoba, 2 Teman Prianya Ikut Terciduk

Gunawan Sitompul warga Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara mengatakan, bahwa tidak ada patokan harga tetap kemenyan. Padahal, pada jaman nenek moyanv mereka sekitar tahun 70an harga satu kilogram kemenyan sama dengan satu gram emas.

"Harga itu toke yang menentukan. Kalalu diliatnya kita lagi butuh pasti ditekannya harga jadi lebih murah," ungkap Gunawan yang mencari nafkah sebagai petani kemenyan saat ditemui suarasumut. Id, Selasa (29/11/2022) usai Acara Adat Parung-Parung.

Parung Parung adalah tradisi yang kerap dilakukan masyarakat adat. Tujuannya, agar hasil panen kemenyan mereka banyak dan bagus.

Saat ini, kemenyan dengan kualitas terbaik atau yang disebut kemenyan Toba dibandrol seharga Rp 250 - 300an ribu per kilo gram. Ada juga yang dibandrol Rp 30 ribu samlai Rp 100an ribh untuk kemenyan yang kualitasnya dibawah Toba. Misalnya kemenyan yang telah menjadi serbuk dan yang berada si kulit pohon hamijon.

"Kalau Taher atau debu harganya kisaran Rp 50 per kilo. Kalau Taltal seharga kisaran Rp 30 ribu per kilo," paparnya.

Baca Juga:Duga Ada Aktivitas Ritual Terkait Kematian Satu Keluarga di Kalideres, Polisi: Ditemukan Buku Mantra dan Kemenyan

Selain soal harga, ada hal lain yang menurut mereka kurang pas. Yakni potongan jumlah kemenyan yang dijual ke toke. Potongan itu jumlahnya setengah kilo bahkan sampai 1 kg.

"Harapan kami pemerintah bisa menangani masalah harga.
Daerah lain bisa berbeda, seperti di sini dan Dolok Sanggul," ujar Gunawan Sitompul dan rekannya Martimbun Sihombing.

Sementara itu, Direktur Eksekutif GJI, Dana Prima Tarigan msngatakan, untuk mensejahterakan dan melindungi masyarakat adat, pihaknya mendorong pemerintah untuk memfasilitasi produk-produk hasil hutan bukan kayu, khususnya kemenyan.

"Kita mendorong pemerintah untuk memfasilitasi produk-produk hasil hutan bukan kayu, khususnya kemenyan yang pada saat ini harganya fluktuatif. Secara otomatis pemerintah tidak boleh tinggal diam," kata Dana.

"Kita harus ajak pemerintah untuk menyelesaikan masalah ekonomi masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, khususnya kemenyan ini. Selain membangkitkan kembali narasi-narasi kearifan lokal, pendampingan yang dilakukan GJI juga menyasar soal ekonomi, khususnya kemenyan," imbuh Dana.

Upaya itu juga dibarengi dengan pembuatan film dan buku berjudul Tombak Na Marpatik yang digagas Green Justice Indonesia. Dalam buku yang ditulis oleh Saurlin Siagian, Arrum Harahap dan Pahri Nasution.

Buku ini berisikan kekhawatiran bagi masyarakat adat, yang mana mereka tidak lagi bisa mengambil kemenyan mereka karena regulasi. Hal itu, dikarenakan kebun mereka berada di hutan lindung.

Yang mana 'Tombak Na Marpatik' ini merupakan hasil dari pendampingan panjang yang dilakukan GJI kepada masyarakat adat di Desa Simardangiang, Desa Pantis dan Dusun Hopong, Kabupaten Taput.

Pendampingan yang dilakukan, dimulai dari pemetaan permasalahan yang sering muncul di kampung. Melakukan riset soal ekonomi, dan terakhir mendorong eksistensi dan pengetahuan empiris masyarakat adat itu sendiri.

"Banyak sekali pengetahuan empiris serta kearifan lokal masyarakat adat, khususnya di Tapanuli dan Tapanuli Utara untuk melindungi hutan dan kawasan kelolanya. Mereka (masyarakat adat) juga punya hubungan relasi spiritual dengan hutannya," papar Dana.

Praktik yang dilakukan masyarakat adat, lanjut Dana, telah terbukti bisa melestarikan hutannya. Mereka juga mampu melindunginya dari kerusakan yang disebabkan masyarakat itu sendiri.

"Dulu ada Aek Nauli dan lainnya di situ, tapi mereka bisa mempertahankannya. Dan sampai sekarang kearifan lokalnya mampu melindungi sumber-sumber kehidupannya. Nah, ini yang penting untuk dimunculkan ke publik. Dan kita berharap pola relasi dan aturan adat ini bisa diadopsi pemerintah dalam hal investasi yang akan masuk ke depannya," terangnya.

Dengan begitu, kebijakan yang dikeluarkan ke depannya berbasis pengetahuan empiris yang telah turun temurun dan terbukti dapat menjaga hutan dan sumber daya alamnya dari kerakusan, pencurian dan kerusakan.

Lebih lanjut, Dana mengungkapkan, ancaman terhadap wilayah kelola masyarakat adat sekarang sangat besar. Mulai dari regulasi pemerintah yang mengatur kehutanan, sampai kepada investasi dan praktek ilegal di luar masyarakat adat itu sendiri.

"Mereka (masyarakat adat) mandiri mengurusnya, tapi ancamannya cukup besar. Oleh karena itu mereka butuh gerakan atau jaringan lebih besar lagi untuk membantu melakukan perlindungan terhadap yang selama ini sudah mereka lindungi," papar Dana.

Respon positif pun diutarakan oleh Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan. Ia pun berkeinginan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan adat.

"Inikan sumber mata pencarian, suka tidak suka, mau tidak mau negara harus hadir. Inikan harta 'berlian'mereka. Mereka tidak punya lahan lagi. Kita harus beri kenyamanan kepada mereka. Saya buat perda, harapan kita tetaplah dipertahankan, jadi harus ada pengawasan bersama, masyarakat juga sadar," ujar Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan.

Ia menegaskan, sebagai Bupati tentu ada dua sisi yang harus tetap ia jaga. Sebagai kepala daerah, tentu ada regulasi yang tetap harus ia jaga.

"Saya juga harus mengamankan investasi di Tapanuli Utara. Tetapi saya yang dipilih oleh masyarakat juga punya tanggung jawab untuk masyarakat saya ini. Apa yang mereka keluhkan, apa yg selama ini mereka rasakan dan apa yang mereka perjuangkan saya juga harus perjuangkan," tegasnya.

"Maka tugas saya bagaimana dua komponen ini harus bisa saya gabungkan. Agar apa yang diperjuangkan masyarakat bisa terakomodir tanpa melanggar regulasi," imbuhnya.

Bagi Nikson, tidak ada masalah jika ada dasar hukum serta ada juga alasan yang kuat dari masyarakat untuk pengajuan ke pemerintah pusat terkait dengan hutan adat.

"Kita minta ke pemerintah sehingga kembali ke masyarakat. Nah tinggal meramunya, bagaimana membuat singkronisasinya ini. Ada titik koordinat, ada lokasinya, ada sejarah kepemilikannya dan ada kajian akademisnya. Jadi tidak lagi berdasarkan menurut saya, menurut kami. Jadi ada studi kelayakannya. Nah ini yang penting, karena saya lihat para pemerhati lingkungan dan pemerhati kepentingan masyarakat adat. Saya harap, tiga tanah adat yang sudah di SK kan harus bertambah. Maka saya minta kepada kawan dari KSPPM dari AMAN untuk jangan menyerah, jangan berhenti," pungkas Nikson Nababan.

Kontributor : Budi warsito

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini